Hari ini adalah perayaan hari ibu.
Tepat tanggal 22 Desember. Seperti sudah tradisi, seluruh siswa SMP Bhakti
sibuk membuat kartu ucapan dan kado untuk ibu mereka masing-masing. Begitu pula
dengan siswa-siswi di kelas 8-B. Tetapi, ada seorang siswi yang hanya duduk
merenung saja dan tak membuat kartu ucapan seperti teman-teman lainnya. Siswi
itu bernama Lili. Dia terlihat sedang bersedih. Karena melihat Lili sedang
bersedih, Susi menghampiri Lili.
“ Hai Lili. Mengapa kau tidak
membuat kartu ucapan untuk ibumu?” Tanya Susi
“ Untuk apa aku membuat kartu ucapan
untuk ibuku. Tak ada gunanya. Lagi pula hari ibu tak bisa kurayakan.”
“ Mengapa kau berkata begitu? Apa
kau tidak menyayangi ibumu?”
“ Tentu saja aku menyayangi ibuku.
Tapi, ibuku sudah meninggal beberapa waktu lalu. Aku tak bisa merayakan hari
ibu seperti tahun-tahun sebelumnya dan aku tak bisa merayakan hari ibu
sepertimu. Hari ibu tanpa kehadiran ibu rasanya hampa. Aku benar-benar
merindukan ibu. Setiap kali aku mengingat ibu aku selalu menangis. Mengapa ibu
tega meninggalkanku? Apakah ibu tak sayang padaku?” Kata Lili sambil menahan
tangis.
“ Kalau ibumu sudah meninggal, lalu
kau tinggal dengan siapa?”
“ Tentu saja dengan ayahku.”
“ Oh begitu. Kau masih bisa
merayakan hari ibu meskipun tanpa ibumu.”
“ Bagaimana bisa? Hari ibu tentu
saja harus ada ibu.”
“ Tenang saja. Nanti akan ku
beritahu bagaimana caranya. Kau mau tidak?”
“ Aku tidak yakin.”
“ Percayalah padaku. Aku akan
membantumu. Kau mau atau tidak?”
“ Baiklah aku mau. Lalu apa yang
akan kita lakukan?”
“ Nanti kita buat kartu ucapan. Tapi
dirumahmu saja.”
“ Baiklah.”
***
Saat pulang sekolah, Susi tidak
segera pulang. Dia pergi ke rumah Lili terlebih dahulu. Sesampai dirumah Lili,
Susi memberi tahu bagaimana caranya merayakan hari ibu tanpa kehadiran ibu.
Awalnya Lili tak setuju dengan cara Susi. Susi lalu menjelaskan sesuatu pada
Lili. Setelah lama Lili mempertimbangkan saran Susi, akhirnya dia mau juga.
Susi dan Lili sibuk membuat kartu
ucapan dan menyiapkan kado. Setelah semua selesai dan terbungkus rapi, Lili
memandangi hasil buatannya. Dia terlihat senang sekali. Susi juga merasa lega
karena hasilnya tidak buruk.
“ Terima kasih ya Susi. Kau
benar-benar baik sekali. Kau juga pintar.”
“ Sama-sama. Lain kali kau tak perlu
bersedih lagi hanya karena tak bisa merayakan hari ibu.”
“ Iya. Lain kali aku tak akan
bersedih lagi.”
“ Ya sudah, kalau begitu aku pamit
pulang. Ibuku pasti mengkhawatirkanku karena aku tak segera pulang.”
“ Iya, terima kasih Susi. Hati-hati
di jalan ya.”
“ Ya.”
***
“ Ibu! Aku pulang… “ Teriak Susi
dari luar rumah.
“ Ya ampun Susi, kau dari mana saja?
Ibu benar-benar khawatir karena kau tak segera pulang.”
“ Maaf bu, tadi Susi mampir kerumah
teman untuk membantunya.”
“ Memang ada masalah apa?”
“ Ada deh.” Kata Susi sambil
mengedipkan sebelah matanya.
“ Selalu main rahasia.” Kata ibu
Susi.
“ Oh iya, selamat hari ibu. Susi
sayang sama ibu.”
Susi mengeluarkan kado dan kartu
ucapan dari tasnya dan memberikannya pada ibu. Ibu Susi tersenyum dan memeluk
erat Susi.
“ Terima kasih Susi. Ibu tak butuh
kartu ucapanmu dan kadomu. Yang ibu butuhkan hanyalah keberadaanmu di sisi ibu.
Ibu sudah cukup bangga memiliki anak sepertimu.” Kata ibu Susi.
“ Sama-sama ibu. Susi juga bangga
punya ibu yang baik sekali. Apalagi masakan ibu yang super enak.” Kata Susi
sambil nyengir.
“ Bilang saja kalau kamu lapar. Ayo
masuk, ibu sudah buatkan makanan kesukaanmu.”
“ Asik…” Kata Susi, lalu mereka
masuk ke dalam rumah.
***
Saat sore hari, di rumah Lili, Lili
sedang sibuk menyapu lantai rumahnya. Lalu, ayah Lili datang dengan membawa
kantung plastik. Terlihat ayah Lili kelelahan sehabis bekerja. Ayah Lili
berangkat dan pulang kerja hanya jalan kaki. Wajar saja kalau terlihat lelah.
“ Ayah sudah pulang? Apa yang dibawa
ayah?”
“ Ini ayah belikan makanan
kesukaanmu. Biasanya kalau hari ibu kau selalu ingin makan makanan kesukaanmu
kan?” Lalu ayah menyerahkan kantung plastik itu pada Lili.
“ Terima kasih ayah. Oh iya, Lili
juga punya sesuatu untuk ayah. Sebentar ya.”
Lili berlari ke dalam kamarnya lalu
keluar lagi dengan membawa kado dan kartu ucapan yang tadi telah dibuatnya
bersama Susi.
“ Selamat hari ayah.” Kata Lili
sambil menyodorkan kado dan kartu ucapannya.
Ayah Lili membaca tulisan di kartu ucapan
yang berbunyi ‘ Selamat hari ayah. Lili sayang sama ayah. I love you Ayah.’
Ayah Lili benar-benar terharu karena baru kali ini dia menerima kado dan kartu
ucapan dari anaknya. Yang dia tau Lili hanya menyayangi ibunya dan tak pernah
mempedulikannya.
“ Maafkan Lili ayah karena Lili tak
pernah mempedulikan ayah. Padahal selama ini ayah yang selalu menghibur Lili
kalau Lili sedang sedih.” Kata Lili sambil menunduk.
“ Tidak apa-apa Lili. Ayah tahu kau
sangat menyayangi ibumu. Wajar saja seorang anak menyayangi ibunya karena sejak
dalam rahim, anak lebih dekat dengan ibunya. Benar kan? Terima kasih ya Lili,
ayah benar-benar senang sekali mendapat hadiah dari anak ayah.”
“ Sama-sama ayah.” Kata Lili sambil
tersenyum.
Lili dan ayahnya berpelukan. Lili menangis
di pelukan ayahnya karena terharu. Baru kali ini dia benar-benar merasa dekat
dengan ayahnya. Selama ini dia seperti menjaga jarak dengan ayahnya sendiri.
“ Eh, tapi ngomong-ngomong kenapa
jadi hari ayah?” Tanya ayah Lili.
“ Tadi teman Lili yang memberi saran
pada Lili. Dia bilang seperti ini pada Lili.”
#Flashback
“ Sekarang apa yang akan kita
lakukan?” Tanya Lili.
“ Membuat hari ibu menjadi hari
ayah.”
“ Bagaimana mungkin hari ibu menjadi
hari ayah?”
“ Tentu saja mungkin. Karena ibumu
sudah tiada, tentu saja ayahmu yang menggantikan posisi ibumu dirumah ini.
Mungkin kau tak menyadari itu. Karena itu kita buat hari ibu menjadi hari
ayah.”
“ Aku tidak mau!” Kata Lili.
“ Kenapa?”
“ Aku tak pernah dekat dengan
ayahku.”
“ Justru ini cara tepat agar kau
bisa dekat dengan ayahmu. Ibumu tak butuh dengan perayaan hari ibu. Kau bisa
mendoakan ibumu agar ibumu tenang di alamnya sebagai kado untuk ibumu. Lagipula
ibumu meninggal bukan karena dia tak menyayangimu, itu karena memang sudah
waktunya ibumu meninggal. Dimana ada kehidupan disitu juga ada kematian. Dan
semua itu Tuhan yang telah menentukannya. Kita tak bisa melawan takdir. Jika
kau terus bersedih karena kehilangan ibumu, ibumu juga akan sedih. Dia tak akan
tenang disana karena merasa bersalah sudah meninggalkanmu. Ibumu akan tersiksa
kalau terus melihat anaknya bersedih. Kau tak ingin ibumu tersiksa hanya karena
kau bersedih kan? Aku memang tak pernah merasakan kehilangan ibu. Tapi aku
memahami bagaimana perasaan ibu yang tersiksa kalau melihat anaknya bersedih
hanya karena dia tinggalkan.” Kata Susi.
“
Apakah ibu juga bersedih di alam sana?”
“ Tentu saja ibumu akan sedih kalau
kau sedih. Tapi ibumu akan bahagia kalau kau bahagia. Kau ingin ibumu
bersedih?”
“ Tidak. Aku ingin ibu bahagia.”
“ Kalau begitu kau jangan sedih. Kau
tak perlu merasa kehilangan ibumu. Selama kau masih mengingat ibumu di dalam
hatimu, ibumu akan tetap berada disisimu. Kau mungkin tak bisa melihatnya, tapi
dengan hatimu kau bisa merasakan kehadirannya.” Kata Susi.
“ Ehm… Baiklah. Untuk ibuku, aku
akan berusaha agar tak bersedih lagi. Aku juga akan selalu mendoakan ibuku agar
ibuku bahagia.” Kata Lili dengan semangat.
“ Tapi, apa aku harus dekat dengan
ayah?” Tanya Lili.
“ Tentu saja. Selama ini ayahmu yang
menemanimu. Ayahmu juga bekerja keras untuk memenuhi segala kebutuhanmu. Apa
kau tak merasa iba pada ayahmu? Dia sudah berjuang keras untuk berada disisimu
sementara kau tak mempedulikannya. Ayahmu juga manusia yang punya hati. Mungkin
dia sakit hati kalau kau tak menganggapnya ada. Bagaimanapun juga itu ayahmu.
Ayahmu pasti menyayangimu.” Kata Susi.
“ Tapi, menurutku ayah tak pernah
sakit hati. Nyatanya dia selalu bersikap biasa saja padaku.” Kata Lili.
“ Mungkin dia tak ingin kau tahu
kalau dia sedih. Cobalah sekali-kali kau memberikan perhatian padanya. Aku
yakin dia akan senang. Cobalah sekali ini saja.”
“ Baiklah, aku akan mencobanya.
Semoga aku bisa.” Kata Lili.
#End
Flashback
“ Oh, jadi ini saran dari temanmu.
Pintar juga dia. Ayah harus berterima kasih padanya karena sudah membuat anak
ayah menjadi perhatian pada ayah.” Kata ayah Lili sambil tersenyum.
“ Iya ayah. Susi memang anak yang
baik. Dia juga anak yang bijak.”
“ Ayo kita makan dulu. Ayah sudah
lapar.”
“ Iya.”
TAMAT