Kamis, 27 Oktober 2011

PENYESALANKU

“ Hai, Daniel!” Teriak seseorang dari kejauhan. Aku hanya diam saja. Lalu dia menghampiriku.
“ Kau sudah kerjakan PR Matematika?” Tanya orang yang tadi berteriak padaku.
“ Sudah. Kenapa? Mau menyonteknya lagi?” Tanyaku dengan menatapnya sinis.
“ Tidak. Aku tahu kalau kau pasti akan marah kalau aku menyontek lagi. Jadi, hari ini aku mengerjakan sendiri.” Jawabnya.
“ Pamer?” Jawabku.
“ Ya, begitulah. Semoga saja tidak ada yang salah.” Kata orang itu.
Kami berjalan menuju ruang kelas yang berada di lantai dua. Orang yang saat ini disebelahku adalah teman sebangkuku. Dia seorang gadis yang cerewet, bodoh, dan pemalas. Oleh sebab itu aku membenci wanita karena rata-rata sifatnya seperti itu. Itulah yang menyebabkanku hingga detik ini masih jomblo. Gadis cerewet ini bernama Emerald. Sama seperti warna matanya yang hijau Emerald.
Sesampainya di kelas aku hanya duduk sambil membaca komik kesukaanku. Sementara Emerald sudah pergi entah kemana. Dia memang susah disuruh duduk tenang. Kadang aku sering marah karena dia tak bisa diam sejenak.
“ HOOOIIII.” Teriak Emerald tepat di telinga kiriku hingga telingaku berdenyut dan terasa sakit.
“ Eme! Sakit. Kalau aku sampai tuli bagaimana?” Kataku. Aku sebenarnya ingin marah. Tetapi, suara yang keluar tetap saja suara datar.
“ Maaf. Sedari tadi aku memanggilmu, tetapi kau hanya membaca komikmu saja. Kalau baca komik jangan terlalu serius.” Kata Eme.
“ Sejak kapan kau memanggilku?” Tanyaku.
“ Dari tadi. Memang telingamu itu sudah tuli sebelum aku berteriak di telingamu!” Kata Eme.
“ Ada apa memanggilku?” Tanyaku.
“ Ada yang memberikan ini padamu.” Eme menyodorkan 4 kotak yang terbungkus dengan kertas kado.
“ Hari ini bukan ulang tahunku. Siapa yang memberikannya?” Tanyaku dengan heran sambil menerima benda-benda itu.
“ Siapa lagi kalau bukan para fansmu Dan.” Kata Eme sambil menyebut namaku dengan dibuat-buat.
Aku segera membuka 4 kotak yang ukurannya sedang. Ada yang memberiku coklat, komik, liontin yang berbentuk hati, dan jam tangan yang ada ukiran namaku dan sang pemberi hadiah itu. Lagi-lagi aku mendapatkan barang-barang yang tidak penting. Tapi, kalau komik sepertinya tak masalah.
Setelah aku menyimpan barang-barang itu di tas, aku melirik ke arah Eme. Aku kaget karena ekspresinya terlihat sedang marah. Aku teringat kata-kata ibuku, bahwa coklat dapat menenangkan perasaan. Aku kembali mengambil coklat pemberian fansku tadi dan menyodorkannya pada Eme.
“ Apa ini?” Tanya Eme. Dia terlihat kebingungan saat aku menyodorkan coklat itu.
“ Makan saja. Mubazir kalau tidak ada yang memakannya. Kata ibuku, coklat juga dapat menenangkan perasaan.” Jawabku. Lalu aku kembali membaca komikku.
Bel pun berbunyi tepat saat Eme baru memakan satu gigitan coklat itu. Dan pada saat itu juga guru masuk. Eme menyimpan coklatnya sambil menggerutu. Aku hanya tersenyum saat dia bertingkah seperti itu.
Selama pelajaran ini, Eme hanya diam dan memperhatikan guru. Biasanya, dia tak akan mendengarkan saat guru sedang menerangkan. Mungkin dia begini karena kemarin aku benar-benar marah pada Eme. Tapi, bukankah Eme biasanya juga tak mendengarkan perkataanku? Aku jadi bingung sendiri.
“ Daniel! Jangan melamun!” Teriak guruku. Aku kaget dan baru sadar bahwa dari tadi aku melamun saja. Aku menjadi malu sendiri. Eme melihatku lalu tertawa cekikikan. Wajahku memerah karena malu.
***
                Bel pulang telah berbunyi. Aku segera keluar karena aku benar-benar malu. Berkali-kali aku ditegur karena melamun. Benar-benar memalukan. Dan yang paling membuatku malu, Aku melamun saat melihat wajah Eme, dan tiba-tiba wajahku merona saat melihat Eme. Benar-benar memalukan. Ada apa aku ini? Hari ini benar-benar aneh.
***
                Hari ini, aku duduk sendirian. Eme tiba-tiba saja sakit. Aku berpikir mungkin akan sangat bahagia jika Eme tidak ada. Tapi, entah mengapa seperti ada yang kurang. Seperti aku kehilangan sesuatu. Akhir-akhir ini aku sering memikirkan Eme. Apakah aku menyukai Eme? Semoga saja tidak. Lebih baik, aku menanyakan hal ini kepada yang ahli. Yaitu Fadhil. Dia selalu ahli dalam urusan hati. Aku segera menghampiri Fadhil yang sedang menghabiskan makanannya sebelum bel usai istirahat berbunyi.
                “ Dhil, aku boleh curhat?” Tanyaku.
                “ Curhat? Tumben kau curhat padaku. Ada apa? Silakan saja.” Kata Fadhil sambil terus makan.
                “ Sepertinya aku menyukai seorang gadis.” Kataku, memulai curhatku.
                “ Uhuk… uhuk.” Tiba-tiba Fadhil terbatuk-batuk.
                “ Ada apa? Kau baik-baik saja?” Tanyaku. Fadhil segera meminum sirupnya dan menarik napas dalam-dalam.
                “ Apa aku tak salah mendengar? Kau menyukai seorang gadis? Yang kutahu kau selama ini tak suka dengan wanita kan?” Tanyanya.
                “ Itu yang kupermasalahkan. Aku tak tahu aku benar-benar menyukainya atau tidak. Tapi, aku berharap bahwa aku tak menyukai gadis ini.” Jawabku.
                “ Memang kenapa?” Tanyanya.
                “ Gadis ini benar-benar gadis yang menyebalkan. Tapi, saat dia tak ada, aku merasa kehilangan. Akhir-akhir ini aku selalu terbayang-bayang dia. Entah kenapa aku selalu memikirkannya. Apakah aku sedang gila?” Curhatku.
                “ Hahahaha. Kau benar-benar menyukai gadis itu. Mengapa kau tak mengungkapkannya pada gadis itu?” Tanya Fadhil.
                “ Kau gila! Aku baru saja menyukainya dan tiba-tiba mengatakannya. Aku tak mau. Aku akan meyakinkan hatiku dulu kalau dia memang benar-benar kusuka. Bahkan, kalau dia benar-benar kucintai.” Jawabku.
                “ Benar juga katamu. Tapi, sebaiknya kau segera mengatakannya. Dari pada nanti dia diambil orang lain.” Kata Fadhil.
                “ Jadi, menurutmu aku sedang jatuh cinta?” Tanyaku.
                “ Ya. Dan kau menyukai gadis itu.” Kata Fadhil.
                Aku segera meninggalkan Fadhil dan kembali ke bangkuku. Aku memikirkan kata-kata Fadhil. Kata-katanya memang tak ada yang salah. Ah, untuk apa aku harus mengatakannya pada Eme. Selama ini di mata Eme aku cuek dan tak pernah jatuh cinta, masa’ aku luluh pada dia. Bisa-bisa dia hanya menertawakanku.
                Sepertinya aku tak perlu mengatakannya pada Eme. Lebih baik kupendam saja dulu. Atau aku tunggu saja jika benar-benar ada kesempatan. Entah kapan kesempatan itu akan datang. Aku harus meyakinkan diriku bahwa Eme memang layak dihatiku.
***
                Setelah 3 hari Eme tak masuk, dia akhirnya masuk. Dia tetap ceria meskipun jika kulihat wajahnya pucat. Aku benar-benar merindukan Eme. Rasanya ingin kupeluk Eme saat dia duduk disampingku dengan celotehan panjang lebarnya yang tak karuan.
                Saat aku sedang membereskan barang-barangku untuk persiapan pulang. Eme memegang tanganku. Rasanya jantung ini hampir lepas saat dia memegangnya. Tapi, tangannya begitu dingin. Sepertinya dia masih sakit.
                “ Daniel, nanti kau main kerumahku ya.” Kata Eme.
                “ Untuk apa?” Tanyaku.
                “ Aku ingin mengenalkanmu pada keluargaku.” Jawabnya. Aku terdiam sesaat.
                “ Kumohon. Kau tak pernah kerumahku.” Kata Eme dengan wajah memelas. Aku baru teringat bahwa Eme pernah main kerumahku. Tapi, aku tak pernah kerumahnya.
                “ Baiklah.” Jawabku. Emeral tersenyum. Tapi, aku lihat mata Emeraldnya berkaca-kaca.
                Setelah kami keluar kelas, kami segera mengambil kendaraan dan menuju rumah Eme. Rumah Eme agak jauh dari sekolah. dia tinggal di kompleks perumahan besar. Rupanya, dia anak orang kaya. Rumahnya benar-benar besar dan indah.
                Saat masuk kedalam rumahnya, ternyata di ruang tamu sudah ada keluarga Eme. Aku benar-benar jadi malu. Semoga saja mereka tak melihat bahwa wajahku sudah merona.
                “ Ayah, ibu, kak Lita, Kak Luki, perkenalkan, dia Daniel. Orang yang kuceritakan pada kalian.” Kata Emerald memperkenalkanku pada mereka.
                “ Perkenalkan, saya Daniel.” Kataku sambil membungkuk. Entah kenapa aku jadi salah tingkah.
                “ Oh, ini yang namanya Daniel. Silakan duduk nak.” Kata ibu Eme.
                “ Terima kasih.” Aku duduk disamping Eme.
                “ Emerald sering sekali bercerita tentangmu. Rupanya kau laki-laki yang tampan ya.” Kata ibu Eme.
                “ Terima kasih Tante. Baru kali ini saya di puji.” Kataku.
                “ Bohong. Di sekolah kau sering dipuji gadis-gadis lain.” Kata Eme.
                “ Maksudku baru kali ini di puji ibumu.” Jawabku berusahak mengelak. Mereka hanya cekikikan.
                “ Ya sudahlah, kami tinggal dulu ya nak. Kami masih banyak urusan.” Kata Ayah Eme.
                “ Iya Om. Maaf mengganggu.” Jawabku. Mereka tersenyum padaku.
                Sesaat, suasana begitu hening. Aku dan Eme hanya saling diam dan duduk terpaku. Aku tak menyangka Eme menceritakan tentangku pada keluarganya. Mau ditaruh dimana mukaku ini? Aku benar-benar seperti tak karuan.
                “ Daniel, ada yang mau kukatakan padamu.” Kata Eme.
                “ Eh, apa yang mau kau katakana?” Aku tersadar dari lamunanku.
                “ Aku mencintaimu.” Kata Eme.
                Rasanya jantungku berhenti berdetak, nafasku serasa berhenti dan tubuhku kaku saat dia mengatakan hal itu. Aku juuga ingin mengatakan bahwa aku mencintainya. Tapi, sepertinya ini bukan waktunya aku mengatakan itu. Nanti saja aku katakana itu.
                “ Mengapa kau bilang seperti itu? Kau tak malu atau tak salah bicara?” Tanyaku.
                “ Tidak. Itu benar. Aku mencintaimu. Menurutku, lebih baik mengatakannya terlebih dulu, meskipun mungkin dia tak mencintaimu. Tapi, itu lebih baik daripada di pendam, dan akhirnya kau kehilangan kesempatan untuk mengatakannya.” Kata Eme. Aku teringat kata-kata Fadhil.
                “ Oh, begitu. Tapi, maaf. Aku hanya menganggapmu sebagai sahabatku.” Jawabku bohong.
                “ Sudah kuduga. Tapi, aku akan tetap mencintaimu dan tetap menjadi sahabat terbaikmu.” Jawab Eme. Lalu, dia tersenyum.
                Lalu, beberapa saat kami saling diam lagi. Lebih baik aku pendam saja. Kapan-kapan saja aku katakana bahwa aku mencintainya. Eme menawarkan minum padaku, tapi aku menolaknya. Kami hanya mengobrol saja hingga akhirnya sudah waktunya aku pulang.
***
                Setelah kejadian itu, hubungan kami tak ada perubahan apapun. Seperti hari itu tak pernah terjadi. Aku juga lega karena tak ada yang menyadari bahwa kita saling suka. Lebih tepatnya dia juga tak mengetahui bahwa aku menyukainya. Tapi, hari ini aku mendapat kabar yang mengejutkan dari kakak Eme. Eme dalam keadaan sakit dan dibawa ke rumah sakit untuk opname. Dan Eme sempat mengigau menyebut namaku. Aku segera menjenguk Eme.
                Saat aku sampai disana, rupanya Eme sudah dalam keadaan koma. Kakak Eme menceritakan bahwa selama ini Eme memang sakit kanker. Tapi, dia berjuang melawannya. Dulu, dokter pernah mengatakan bahwa hidup Eme hanya sekitar 3 tahun. Tapi, dia berhasil melewati perkiraan dokter. Tapi, saat ini keadaan Eme sedang koma.
                Malam itu, aku menemani Eme sendirian. Aku terus berharap Eme membuka matanya dan kembali ceria, lalu aku akan mengatakan perasaanku. Aku terus menunggunya. Hingga tepat pukul 5 pagi, detak jantung Eme berhenti. Aku segera berteriak memanggil dokter.
                Semua berusaha menyelamatkan Eme, tapi gagal. Eme sudah meninggal. Aku menggenggam tangan Eme sambil menangis. Ku berbisik ditelinganya “aku mencintaimu. Maaf aku terlambat mengatakannya karena rasa gengsiku. Maaf kan aku. Aku benar-benar mencintaimu.”
                Aku benar-benar menyesal karena tak mengatakannya. Sekarang, aku sudah kehilangan cinta pertamaku. Selamat jalan Emerald, kau akan selalu kukenang hingga akhir waktu.